I made this widget at MyFlashFetish.com.

Kamis, 20 Oktober 2011

Teks Humor Naratif dan Dramatik MENIPU TUHAN

Abu Nawas sebenarnya seorang ulama yang alim. Tak begitu mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang cukup banyak. Di antara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika, ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” “Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil,” jawab Abu Nawas. “Mengapa?” kata orang pertama. “Sebab, lebih mudah diampuni Tuhan,” kata Abu Nawas. Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu. Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” “Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar,” jawab Abu Nawas. “Mengapa?” kata orang kedua. “Sebab, pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.” jawab Abu Nawas. Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” “Orang yang tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan,” kata Abu Nawas. Orang ketiga menerima alas an Abu Nawas. Kemudian, ketiga orang itu pulang dengan merasa puas. Karena belum mengerti, seorang murid Abu Nawas bertanya. “Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?” “Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak, dan tingkatan hati.” “Apakah tingkatan mata itu?” tanya murid Abu Nawas. “Anak kecil yang melihat bintang di langit, mengatakan bintang itu kecil. Ia hanya menggunakan mata,” jawab Abu Nawas mengandaikan. “Apakah tingkatan otak itu?” tanya murid Abu Nawas. “Orang pandai yang melihat bintang di langit. Ia mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan,” jawab Abu Nawas. “Lalu, apakah tingkatan hati itu?” tanya murid Abu Nawas. “Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. Ia tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena, bagi orang yang mengerti, tidak ada sesuatu apa pun yang besar jika dibandingkan dengan Kemahabesaran Allah.” Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. Ia bertanya lagi. “Wahai Guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?” “Mungkin,” jawab Abu Nawas. “Bagaimana caranya?” tanya murid Abu Nawas ingin tahu. “Dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” kata Abu Nawas. “Doa itu begini: Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menghuni surga, tetapi aku tak akan kuat panasnya api neraka. Oleh sebab itu, terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Zat yang mengampuni dosa-dosa besar.”

NOVEL PASAR MALAM

Matahari telah turun menjelang tirai peraduan di balik bumi, meninggalkan cahaya yang merah kuning laksana emas baru disepuh di pinggir langit di pihak barat. Burung-burung beterbangan pulang ke sarangnya. Dengan tergesa-gesa sambil berkotek memanggil anak, masuklah ayam ke dalam kandang karena hari telah samara muka. Cengkerik mulai berbunyi bersahut-sahutan, menyatakan bahwa hari sudah senjakala. Ketika itu sunyi senyap, seorang pun tak ada kelihatan orang di jalan. Di jembatan pada sebuah kampung, kelihatan tiga orang duduk berjuntai. Mereka duduk seakan-akan ada suatu rahasia yang dimufakatkannya, yang tidak boleh sedikit juga didengar orang lain. Sambil melihat kesana-kemari, kalau-kalau ada orang lalu lintas, mereka itu mulai bercakap-cakap. “Sebulan lagi ada pacuan kuda dan pasar malam di Bukittinggi,” kata seorang di antara mereka itu yang tidak lain dari Kacak memulai percakapannya. “Saat itulah yang sebaik-baiknya bagi kita akan membalaskan dendamku selama ini kepada Midun. Tak dapat tidak, tentu Midun pergi pula melihat keramaian itu. Orang kampung telah tahu semua, bahwa saya bermusuh dengan dia. Jika kalau dia saya binasakan di sini, malu awak kepada orang. Tentu orang kampung syakwasangka kepada saya saja, kalau ada apa-apa kejadian atas diri Midun. Lagi pula ia tak pernah keluar, hingga sukar akan mengenalnya. Oleh sebab itu, telah bulat pikiran saya, bahwa hanya di Bukittinggilah saya dapat membinasakannya. Bagaimana pikiran lenggang? Sukakah Lenggang menolong saya dalam hal ini? Budi dan jerih Lenggang itu, saya berjanji akan memberi sesuatu yang menyenangkan hati Lenggang.” “Cita-cita Engku Muda itu mudah-mudahan sampai,” jawab Lenggang, sambil melihat keliling, takut kalau-kalau ada orang mendengar. “Kami berdua berjanji menolong Engku Muda sedapat-dapatnya. Jika tak sampai yang dimaksud, tidaklah kami kembali pulang. Tidak lalu dendang di darat kami layarkan, tak dapat dengan lahir, dengan batin kami perdayakan. Sebab itu, apa yang kami kerjakan di Bukittinggi, sekali-kali jangan Engku Muda campuri, supaya Engku jangan terbawa-bawa. Biarkanlah kami berdua, dan dengar saja oleh Engku Muda bagaimana kejadiannya. Ada dua jalan yang harus kami kerjakan. Tapi… maklumlah Engku Muda, tentu dengan biaya. Lain daripada itu, ingatlah Engku Muda, rahasia ini hanya kita bertiga saja hendaknya yang tahu. Panda-pandai Engku Muda menyimpan, sebab hal ini tak dapat dipermudah karena perkara jiwa.” “Seharusnya saya yang akan berkata begitu,” ujar kacak sambil mengeluarkan uang kertas Rp25 dari koceknya, lalu diberikannya kepada Lenggang. “Bukankah tuan-tuan membela saya, masakan saya bukakan rahasia ini. Biar apa pun terjadi atas diri Lenggang kedua, jangan sekali-kali nama saya disebut-sebut. Saya ucapkan, moga-moga yang dimaksud sampai, karena bukan main sakit hatiku kepada Midun, anak si peladang jahanam itu! Jika dia sudah luput dari dunia ini, barulah senang hati saya. Sekarang baik kita bercerai-cerai dulu, karena kalau telalu lama bercakap-cakap, jangan-jangan dilihat orang.” Setelah ketiganya berteguh-teguhan janji bahwa rahasia itu akan dibawa mati, maka mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Lenggang dengan temannya sangat bersuka hati mendapat uang itu. Gelak mereka terbahak-bahak, lenggangnya makin jadi, tak ubah sebagai namanya pula. Bahaya apa yang akan menimpa kelak, sedikitpun tak dipedulikan Lenggang. Memang Lenggang sudah biasa menerima upah semacam itu. Pekerjaan itu sudah biasa dilakukannya. Sudah banyak ia menganiaya orang, satu pun tak ada orang yang tahu. Pandai benar ia menyimpan rahasia dan melakukan penganiayaan itu. Jika ada yang menaruh dendam kepada seseorang, dengan uang seringgit atau lima rupiah saja, telah dapat Lenggang disuruh akan membinasakan orang itu. Pekerjaan itu dipandangnya mudah saja, karena sudah biasa. Akan membinasakan Midun itu, tidak usah ia berpikir panjang, karena hal itu gampang saja pikirannya. Hanya yang dipikirkan Lenggang, tentu ia mendapat upah amat banyak dari Kacak, jika yang dimaksudkannya sampai. Kacak seorang kaya, sedangkan bagi permintaan yang pertama diberinya Rp25, padahal belum apa-apa lagi. Akan mengambil jiwa Midun, seorang yang boleh dikatakan masih kanak-kanank, tak usah dihiraukannya . . . . . Demikian pekerjaan mereka itu dua hari lamanya. Pada hari yang kelima pagi-pagi, Midun dan maun pergi ke pasar. Mereka berbelanja membeli ini dan itu karena hendak terus pulang setelah melihat pacuan kuda lusanya. Tengah hari kembalilah mereka ke lepau. Segala barang-barang yang dibeli, dipertaruhkannya kepada orang lepau itu. Setelah itu Midun hendak makan, tetapi maun masih di luar membeli rokok. Baru saja Midun duduk, Maun berseru dari luar, katanya, “Midun! Midun! Lihatlah, apa ini?” Midun melompat ke luar, hendak melihat apa yang diserukan kawannya itu. Di jalan kelihatan beberapa engku-engku dan tuan-tuan diarak dengan musik militer. Tiba-tiba Midun terkejut karena di dalam orang banyak itu kelihatan olehnya Kacak. Dengan segera ditariknya tangan Maun, lalu dibawanya masuk ke dalam lepau. Dengan perlahan-lahan Midun berkata, “Maun! Adakah engkau melihat Kacak di antara orang banyak itu?” “Tidak,” jawab Maun dengan cemasnya. “Adakah engkau meliat dia?” “Ada, rupanya dia ada pula datang kemari. Ketika saya melihatnya tadi, ia memandang kesana kemari, seakan-akan ada yang dicarinya dengan matanya itu, tidaklah saya ketahui. Saya amat heran karena ketika saya menampakkan tadi, darah saya berdebar. Yang biasa tidaklah demikian benar hal saya bagaimana melihat Kacak. Boleh jdi kita disini diintip orang, Maun! Siapa tahu dengan tidak disangka-sangka kita dapat bahaya kelak. Sebab itu, haruslah kita ingat-ingat selama di sini. Sesudah makan mereka pun berjalan-jalan ke pasar, melihat perarakan anak-anak sekolah dan lain-lain. Malam hari Midun tidak keluar melainkan tinggal di lepau nasi saja. Lain benar perasaannya sejak melihat Kacak hari itu. Besoknya ketika pacuan dimulai, mereka itu tidak pergi melihat, melainkan tinggal di lepau saja. Hanya pada hari yang kedua saja mereka hendak pergi sebentar. Sudah itu maksudnya hendak terus pulang kampung.

Contoh Teks Pidato

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera, semoga rahmat Tuhan Yang Maha Esa senantiasa terlimpah pada kita semua. Ibu Fatmawati, selaku Wakil Kepala Sekolah Menengah Pertama III yang saya hormati, Bapak-Ibu Wali Kelas VII, VIII, dan IX yang saya hormati, Para Pengurus OSIS, serta para siswa yang saya sayangi. Kita sadar bahwa kita ingin memperoleh kemajuan dalam hidup. Salah satu persoalan yang sering menghambat kemajuan adalah kurangnya rasa percaya diri. Kurangnya rasa percaya diri, antara lain ditandai oleh kerisauan karena memikirkan kesan orang lain terhadap diri kita. Untuk membangkitkan rasa percaya diri, langkah awal yang dapat dilakukan, yakni menumbuhkan rasa senang terhadap hal-hal yang dilakukan dan sabar menghadapi hal-hal yang tidak disukai. Berikut ini beberapa kiat untuk membangun atau mempertahankan rasa percaya diri. Pertama-tama, ambillah secarik kertas dan daftarkan segala kebiasaan buruk kita. Misalnya, kalian tidak dapat mengatur waktu belajar dengan baik, meletakkan buku di sembarang tempat, suka mengobrol di kelas. Kemudian, tulislah usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengubah kebiasaan buruk tersebut. Selanjutnya, bertekadlah untuk mengubah kebiasaan buruk itu. Jika kalian sering menghabiskan waktu hanya untuk mencari sebuah buku, hal ini pun dapat merusak rasa percaya diri. Berhentilah menyusahkan diri sendiri. Jadi, cobalah untuk meletakkan buku dan barang pribadi lainnya pada tempat yang tetap. Sebuah survey menjelaskan bahwa 1 dari 5 orang merasa risau dengan bentuk tubuhnya. Orang-orang yang kuran memiliki rasa percaya diri, sedikitnya bercermin 10 kali sehari. Mereka merasa memiliki kelemahan diri, misalnya tinggi badan kurang, warna kulit terlalu gelap, dan lain-lain. Hal ini jelas dapat merusak rasa percaya diri. Masalah tersebut dapat diatasi dengan membangun citra positif pada tubuh kita, misalnya dengan rajin membaca agar memiliki wawasan yang luas dan selalu bersyukur. Bagaimana sumbangan keluarga dan teman-teman dalam usaha membangun rasa percaya diri? Rasa percaya diri akan tumbuh jika rasa ketergantungan itu terus dikurangi. Rombaklah hubungan pribadi yang membuat kalian selalu bergantung, menjadi insane yang mandiri, memiliki inisiatif, dan ikut membangun hubungan keluarga dan social yang menyenangkan. Manfaatkan keluarga dan teman-teman sebagai sumber inspirasi untuk menunjukkan prestasi. Dari uraian tadi dapat disimpulkan bahwa rasa percaya diri penting untuk dibangun dan ditingkatkan. Mengapa? Sebab, rasa percaya diri memiliki sumbangan yang besar bagi kalian untuk meraih prestasi. Mudah-mudahan uraian ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas diri kita. Sekian uraian yang dapat Bapak sampaikan pada kesempatan ini. Terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.